BAB I PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang 

Banyak cara yang dilakukan seseorang yang beragama dalam rangka mendekatkan dirinya dengan Tuhannya. Namun dalam hal ini akan membicarakan bagaimana seorang muslim dalam upayanya beribadah secara khusyu’ kepada Allah. Setiap muslim pasti memiliki cara tersendiri dalam upayanya menyatukan hatinya sedekat mungkin dengan Allah, sehingga hati dan jasadnya merasakan keberadaan Allah. Namun tak jarang pula, masih banyak orang-orang muslim dalam hal beribadah, jasadnya memang melakukan suatu perbuatan peribadahan, akan tetapi pikiran dan hatinya masih terpaut oleh hal-hal yang lain. Sehingga esensi dalam ibadah yang dilakukannya sia-sia. 

Sebelumnya kita sudah mengetahui apa itu yang dimaksud ibadah. Ibadah secara etimologi berarti merendahkan diri serta tunduk dan taat kepada yang diibadahi yaitu Allah SWT. Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah mengatakan bahwa ibadah adalah gabungan antara ketaatan yang penuh dan cinta yang sempurna.[1]Ibadah menurut pandangan islam adalah sikap pasrah dan tunduk total kepada semua aturan Allah dan rasul-Nya. Dengan demikian, orang yang taat kepada Allah tapi tidak cinta kepada-Nya belum dikatakan melaksanakan ibadah. Setiap muslim pasti mengetahui seperti apa perbuatan yang dinamakan ibadah itu. Sebagian besar umat muslim mengetahui bahwa melakukan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, puasa sunnah senin kamis, sedekah, berdzikir dan masih banyak lagi yang lainnya, merupakan suatu perbuatan ibadah. Akan tetapi adapula suatu perbuatan atau amaliyah yang baik yang dilakukan oleh seorang muslim namun orang tersebut ada juga yang tidak menyadari bahwa perbuatan baiknya itu termasuk kedalam suatu perbuatan ibadah.

Kewajiban bagi setiap muslimin dan muslimat untuk mengetahui tiga hal pokok dalam agama, yaitu mengetahui Rabbnya, mengetahui agamanya dan mengetahui Nabinya. Pengetahuan tehadap ketiga hal pokok tersebut bukan hanya sekedar pengetahuan saja tapi haus dibenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari, dan itulah yang dimaksud dengan iman. Dan keimanan yang ada pada seseorang harus senantiasa dan berkembang serta harus benar-benar dijaga kemurniaanya. Tidaklah dibenarkan jika keimanan itu dicampuradukan dengan berbagai kegiatan yang bertabur khurafat dan takhayul. Dan jika hal itu terjadi bukan lagi keimanan namanya melainkan kemusyrikan. 

B. Rumusan Masalah 

1. Pentingnya pendidikan keimanan? 

2. Pengertian ibadah ? 

3. Hubungan Iman dan ibadah?

C.Tujuan 

1. Mengetahui pentingnya Pendidikan keimanan. 

2. Mengetahui pengertian ibadah 

3. Mengetahui hubungan iman dan ibadah.

BAB II PEMBAHASAN 

A. Pentingnya Pendidikan Keimanan

Untuk mengawali pembahasan tentang pentingnya pendidikan keimanan ini tidak ada salahnya kalau kita perhatikan terlebih dahulu Firman Allah dalam Al Qur’an Surat Luqman ayat 13 berikut ini : 

Artinya : Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. Bila kita membaca dan mengkaji ayat di atas lebih dalam mungkin kita akan bertanya seberapa hebat Luqman ini di banding dengan tokoh terdahulu lainnya, mengapa harus Luqman yang diabadikan Allah dalam Al Quran, dan siapa sebenarnya Luqman ? Tentang siapa Luqman para ulama berselisih pendapat dalam masalah penamaan ayah dan nashabnya, kenabian dan kasabnya serta sifat-sifat fisiknya. Ibnu Katsir menyebutnya sebagai Luqman bin Anqa bin Sadun.

Sebagian besar ulama salaf menyebutkan Luqman bukanlah Nabi dan tidak pula mendapatkan wahyu, melainkan ia seorang wali Allah yang shalih dan bijaksana, yang telah dikarunia Allah berbagai keutamaan, berupa kecerdasan akal, kedalaman pemahaman terhadap tauhidullah, pendiam dan tenang, serta setiap tutur katanya syarat dengan hikmah. Sementara dalam masalah pekerjaan beliau, ada ulama yang mengatakan bahwa beliau adalah seorang budak hitam yang bekerja sebagai tukang kayu. Ada juga yang mengatakan sebagai penjahit, ada juga yang mengatakan sebagai penggembala, dan ada juga yang menyebutnya sebagai seorang hakim (qadhi) pada masyarakat Bani Israil. 

Terlepas dari semua perbedaan pendapat tentang profil seorang Luqman, hal yang paling penting mengenai sosok Luqman bahwa beliau adalah seorang figur orang tua pada masa lalu yang memiliki perhatian besar terhadap pendidikan keimanan anakanaknya agar senantiasa menjauhi perbuatan syirik dan selalu berbuat baik kepada orang tua. Oleh sebab itu layaklah bagi Luqman diabadikan Allah dalam Al Quran karena perhatiannya yang besar terhadap pendidikan keimanan dan akhlaq. 

Kewajiban mengajarkan keimanan yang dicontohkan Luqman sudah sepatutnya ditiru oleh semua orang tua dan para pendidik. Orang tua dan para pendidik memiliki kewajiban untuk menumbuhkan pemahaman menyeluruh mengenai iman dan ajaran Islam sejak awal pertumbuhannya, sehingga anak-anak akan terikat dengan Islam, baik aqidah maupun ibadah. Dan dengan pendidikan iman ini diharapkan anak hanya akan mengenal Islam sebagai agamanya, Al Qur’an sebagai Imamnya dan Rasulullah SAW sebagai pemimpin dan teladannya.

Ada beberapa hal yang yang sesuai petunjuk Rasul saw dalam menyampaikan dasardasar keimanan dan rukun Islam, yaitu : 

1. Membuka kehidupan anak dengan kalimat “هللا إال إله ال“ 

Al hakim meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:

 ال إله إال هللا إفتحوا على صبيانكم أول كلمة 

Bacakanlah kepada anak-anak kamu kalimat pertama dengan “laa ilaaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah) 

Anjuran mengumandangkan Adzan di telingan sebelah kanan dan Iqamah di telinga sebelah kiri saat kelahiran anak adalah sebuah upaya yang diharapkan mempunyai pengaruh terhadap penanaman dasar-dasar aqidah, tauhid, dan iman bagi anak. Kita semua tahu kalau pada lafadz adzan dan iqamah itu ada kalimah thoyibah “ هللا إال إله ال “ sehingga kalimah tauhid dan syiar masuk Islam menjadi yang pertama masuk ke dalam pendengaran mereka, kalimat yang pertama kali diucapkan lisannya, dan menjadi lafal pertama yang difahaminya.

2. Mengenalkan hukum haram dan halal kepada anak 

Ibnu Jarir dan Ibnu Munzir meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata

 اعلموا بطاعة هللا واتقوا معاصي هللا, ومروا أوالدكم بامتثال األوامر, واجتناب النواهي, فذالك وقاية لهم ولكم من النار

 “Ajarkanlah mereka untuk taat kepada Allah dan takut berbuat maksiat kepada Allah suruhlah anak-anak kamu untuk mentaati perintah dan menjauhi larangan. Karena hal itu akan memelihara mereka dan kamu dari api neraka”. 

Rahasianya adalah agar ketika anak membukakan kedua matanya dan tumbuh besar, ia telah mengenal perintah Allah, sehingga ia bersegera untuk melaksanakannya, dan ia mengerti larangan-larangan-Nya, sehingga menjauhinya. Apabila sejak anak memasuki masa baligh telah memahami hukum-hukum halal dan haram, di samping telah terikat dengan hukum-hukum syari’at maka untuk selanjutnya ia tidak akan mengenal hukum dan undang-undang lain selain Islam.

3. Menyuruh anak beribadah pada usia tujuh tahun 

Al Hakim dan Abu Dawud meriwayatkan dari Ibnu Amr bin Al-‘Ash ra. Dari Rasulullah saw. Beliau bersabda :

 مروا أوالدكم بالصالة وهم أبناء سبع سنين واضربوهم عليها وهم أبناء عشر سنين وفرقوا بينهم في المضاجع 

Suruhlah anak-anakmu menjalankan ibadah shalat jika mereka sudah berusia tujuh tahun. Dan jika mereka sudah berusia sepuluh tahun, maka pukullah mereka jika tidak mau melaksanakan shalat dan pisahkan tempat tidur mereka. 

Hikmah di balik perintah ini adalah agar anak dapat mempelajari hukumhukum ibadah sejak masa pertumbuhan. Sehingga ketika anak tumbuh besar, ia telah terbiasa melakukan dan terdidik untuk mentaati Allah, melaksanakan hakNya, bersyukur kepada-Nya, kembali kepada-Nya, berpegang kepada-Nya, bersandar kepada-Nya dan berserah diri kepada-Nya. Disamping itu anak akan mendapatkan kesucian ruh, kesehatan jasmani, kebaikan akhlak, perkataan dan perbuatan didalam berbagai bentuk ibadah.

4. Mendidik anaka-anak untuk mencintai rasul, keluarganya dan membaca Al Qur’an At thabrani Meriwayatkan dari Ali ra. Bahwa Nabi SAW bersabda :

 عن علي بن أبي طالب رضي هللا عنه قال: قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم :“أدبوا أوالدكم على خصال ثالث: على حب نبيكم، وحب أهل بيته، وعلى قراءة القرآن، فإن حملة القرآن في ظل هللا يوم ال ظل إال ظله مع أنبيائه وأصفيائه ( رواه الطبران) 

Dari Ali bin Abi Thalib ra dia berkata : Berkata Rasulullah saw : Didiklah anakanak kamu mencinta Nabi kamu, mencintai ahli baitnya, dan membaca Al Qur’an. Sebab, orang-orang yang memelihara Al Qur’an itu berada dalam lindungan singgasana Allah pada hari tidak ada perlindungan selain daripada perlindunganNya beserta para Nabi dan orang-orang suci (H.R. Thabrani). 

Saat mengajarkan anak didik kita mencintai Nabi beritahukanlah kepada mereka tentang cara-cara berperang Rasulullah, akhlak Rasulullah, perjalanan hidup para shahabat, kepribadian para pemimpin yang agung dan terhormat. Hikmah di balik perintah itu adalah agar anak-anak mampu meneladani perjalanan hidup orang-orang terdahulu, baik mengenai gerakan, kepahlawanan dan jihad mereka. Disamping itu, agar anak-anak terikat pada sejarah, baik perasaan maupun kejayaan, termasuk keterikatan mereka pada Al Qur’an.

B. Pengertian Ibadah 

Ibadah merupakan kata mashdar dari kata ‘abada-ya’budu-‘ibaadatan yang artinya taat, tunduk, menyembah dsb. Dalam bahasa indonesia, ibadah sering kita sebut dengan menyembah. Dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang terdapat kata ibadah dengan berbagai bentuk perubahannya. Ada yang menjelaskan bahwa ibadah itu berarti taat, ada yang tunduk, ada yang do’a dan lain sebagainya. 

Dalam hal ini, Ibnu Taimiyyah merumuskan bahwa ibadah menurut syara’ itu ‘’tunduk dan cinta’’, artinya tunduk mutlak kepada Allah yang disertai cinta sepenuhnya kepada-Nya. Oleh karena itu, unsur-unsur ibadah yang pertama adalah taat dan tunduk kepada Allah. Artinya, merasa berkewajiban melaksanakan segala perintah dan meninggalkan segala larangan Allah yang dibawakan oleh para rasulNya. Oleh karena itu, belum termasuk beribadah apabila seseorang tidak mau tunduk kepada perintah-perintah-Nya, tidak mau taat kepada aturan-aturan-Nya, meskipun ia mengakui adanya Allah yang menciptakan langit dan bumi serta yang memberi rezeki kepadanya. Yang kedua yaitu cinta kepada Allah. Bahwa rasa wajib taat dan tunduk itu timbul dari hati yang cinta kepada Allah, yakni ketundukan jiwa dari hati yang penuh kecintaan kepada Allah dan merasakan kebesaran-Nya, karena memiliki keyakinan bahwa Allah yang menciptakan alam semesta dan segala isinya. 

Syekh Abdul Hamid al-Khatib dalam bukunya Asmar Risalah menyatakan bahwa ‘’Ibadah terambil dari kata ‘abada’’ berarti memperhambakan diri, menjadikan diri jadi hamba atau budak. Hamba atau budak menurut pengertian bangsa arab harus mempersiapkan diri dan seluruh tenaganya untuk mengerjakan apa saja yang disenangi dan diperintahkan oleh Allah. Perbuatan seperti shalat, puasa, zakat dan lain sebagainya termasuk kedalam kategori ibadah.

Perlu kita lihat kembali keadaan lingkungan sekitar kita, faktanya mengatakan bahwa sebagian dari orang yang hanya mengetahui dan menganggap bahwa ibadah itu adalah hanya melaksanakan shalat, menunaikan zakat, melakukan ibadah haji, melaksanakan ibadah haji dan umroh, berikut benar-benar terjebak pada formalitas dan rutinitas belaka. Ibadah menjadi hanya sebatas kebiasaan yang harus dilakukan tanpa melibatkan kekhusyu’an, keikhlasan, dan kesungguh-sungguhan. Keadaan ini persis seperti anak sekolah yang setiap hari berangkat dan pulang ke sekolah: pagi harus berangkat sekolah dan siangnya harus pulang ke rumah. Yang penting baginya adalah memakai seragam putih-merah, berkumpul dengan teman-teman sebayanya, mendengarkan dan membaca pelajaran dan jajan ketika waktu istirahat tiba. Dalam bukunya Muhammad Muhyidin membuka energi ibadah, mengatakan bahwa betapa ibadah tidak lagi bervisi spiritual, imanen, dan transenden. 

Ibadah tidak lagi bervisi ilahiyah, tetapi bervisi sosiologis. Yang ilahi kalah dengan yang kultural dan sosiologis.Kalau kita lihat dalam bukunya Drs. M. Noor Matdawam, bukunya Ilmu Fikih; Bimbingan Ibadah Praktis Shalat dan Puasa, beliau mengatakan bahwa apabila hubungan kita dengan Allah SWT sudah baik, normal, maka otomatis hubungan sosial kita akan baik pula tanpa diragukan. Akan tetapi sebaliknya, belum tentu kalau hubungan sosial kita baik dapat menjamin hubungan kita dengan Allah SWT menjadi baik pula.6 Apalagi orang awam sering salah kaprah dalam memaknai hakikat ibadah. Ibadah hanya dianggap sekedar kewajiban-kewajiban tertentu, yang terbatas pada shalat, zakat, puasa, dan haji. Orang dikatakan ibadah apabila ia mengerjakan shalat, puasa, atau haji. Padahal, rasulullah tidak pernah membatasi makna ibadah pada hal-hal yang bersifat perintah, tapi semua amal yang dikerjakan dalam rangka mengharap ridha Allah adalah ibadah.

C. Hubungan Iman dan Ibadah 

Jika seorang muslim menunaikan atau melakukan suatu ibadah dengan sungguhsungguh, niscaya hal itu akan berdampak pada meningkatnya keimanan yang ada didalam dirinya.8Sebelumnya dikatakan bahwa ibadah adalah manifestasi atau pernyataan pengabdian seorang muslim pada tuhan-Nya, sedangkan iman adalah bentuk batin atau rasa agama islam. Kehidupan batin religi dari muslim diisi oleh iman. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa iman mengalami turun nai, kuat dan lemah, pasang dan surut. Ia akan menguat dengan amal shaleh atau ketaatan dan menurun dengan maksiat.

 Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah : 21

Artinya : ‘’hai manusia, beribadahlah kamu kepada tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, supaya menjadikan kamu bertaqwa kepada-Nya.’’ (QS. Al-Baqoroh : 21)

 Dalam ayat yang lainnya, Allah SWT juga berfirman :

Artinya : ‘’sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada tuhanlah mereka bertawakkal.’’ (QS. Al-Anfaal : 2)

Oleh karena itu, ibadah yang kita lakukan haruslah berbasis pada keimanan dan keikhlasan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

Artinya : ‘’barang siapa yang puasa dibulan ramadhan karena iman dan ikhlas, maka diampuni dosa yang telah lalu.’’ (HR. Bukhari) 

Drs Sidi Gazalba mengatakan kalau diperhatikan hubungan arkanul islam dan arkanul iman, nyatalah yang kedua digerakkan oleh yang pertama. Apabila arkanul iman tidak disadari, orang tidak akan melakukan arkanul islam. Manakala arkanul iman tidak penuh disadari, arkanul islam juga tidak akan penuh dilaksanakan. 

Arkanul iman sebagai kesadaran, pasif sifatnya. Arkanul islam sebagai pengabdian, aktif sifatnya. Iman yang pasif menjdi aktif dalam pernyataannya. Pernyataan itu adalah sistem dan bentuk hubungan manusia dengan tuhan yang dinamakan ibadah. Arkanul islam adalah manifestasi dari arkanul iman. Ibadah adalah akibat yang logis dari iman. Apabila makhluk telah mengakui khaliq-Nya, akan terjalinlah hubungan sebagai akibat dari pengakuan itu. Bentuk dan sistem hubungan adalah sebagaimana diperintahkan Yang Maha Kuasa itu. Manifestasi atau pernyataan hubungan inilah yang dinamakan ibadah. Kembali kita dapat berkata disini, iman itu adalah urat tunggang ibadah ia adalah asas tempat berpijak pengabdian manusia pada tuhan. 

Orang yang menyatakan dirinya bertaqwa kepada Allah tidak mungkin melepaskan dirinya dari keharusan beriman kepada Allah SWT. Dalam ajaran syariat islam, sebagai bukti bahwa seseorang itu bertaqwa kepada Allah, maka ia akan bersedia dan bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah menurut cara yang telah ditentukan Allah melalui lisan Rasul-Nya. 

Dalam bukunya muhammad muhyidin, menjadi penting bagi kita untuk mengetahui dan memahami hubungan antara ibadah dengan iman, ilmu, dan amal. Beliau mengatakan bahwa iman membutuhkan ilmu dan bukti amal. Orang bisa beramal sebab dia mengetahui ilmunya, dan ilmu yang baik merupakan manifestasi iman yang baik pula.

Tetapi bagaimana dengan ibadah? Apakah iman sama dengan ibadah? Lalu bagaimana iman dengan ilmu? Apakah ilmu menjadi dasar dalam ibadah? Atau justru ibadahlah yang menjadi landasan bagi ilmu? Atau keduanya memiliki wilayah yang berbeda? 

Lalu dengan amal? Apakah amal sama dengan ibadah? Apakah semua ibadah adalah amal atau semua amal adalah ibadah? Atau amal menjadi bagian dari ibadah? Atau justru ibadahlah yang menjadi bagian dari amal? 

Pertanyaan-pertanyaan tersebut, walaupun barangkali sudah sering kita tanyakan, tetapi sering pula kita tidak memperoleh jawabannya secara jelas dan meyakinkan. Atau tidak banyak yang mengetahui dan memahami hubungan antara ibadah dengan iman, ilmu dan amal.

Sebelumnya, Muhammad Muhyidin dalam memaparkan hubungan antara manusia dan iman serta tingkatan-tingkatan menuju iman, beliau membuat suatu gambaran skematis yaitu dimula dari manusia – akhlak – ibadah – ilmu – iman. Seperti yang kita ketahui skema tersebut, manusia adalah kita, umat islam. Kita berada pada posisi paling bawah, sedangkan keimanan berada pada posisi paling atas. Antara kita, manusia, dan iman dihubungkan dengan akhlak, ibadah dan ilmu. Kesatuan antara kita akhlak, ilmu dan iman disebut dengan islam. Jadi seorang muslim, orang yang beragama islam adalah seorang yang memiliki akhlak, ibadah, ilmu dan iman. Kemudian sebagaimana yang sering kita dengar-dengar, hidup itu adalah ibadah, maka bagaimana menjelaskan persoalan ini apabila dikaitkan dengan hubungan antara ibadah, iman dan ilmu sebagaimana telah dibuat skema sebelumnya? 

Dalam point ini, ibadah menjadi sel dari hubungan antara ilmu dan iman, sedangkan pada point sebelumnya, keseluruhan aktifitas hidup dimana dalam hidup kita menggunakan akal dan hati adalah ibadah. Dengan kata lain, apabila kita meyakini bahwa hidup adalah ibadah, maka seharusnya kita yakin pula bahwa iman dan ilmu termasuk ibadah. 

Jika logika ini diterima, seharusnya kita tidak boleh membedakan antara ibadah, ilmu, dan iman, sebab membedakannya berarti meyakini ketidaksamaan antara ketiganya berarti bertentangan dengan konsep bahwa hidup adalah ibadah. Kontaradiksi seperti itulah yang yang hampir tidak pernah disadari oleh banyak orang. Ketika Muhammad Muhyidin mengatakan dalam bukunya membuka energi ibadah, bahwa hidup adalah ibadah perkataannya tidak akan bertentangan dengan antara ibadah, ilmu, dan iman sebagaimana tergambar pada skema sebelumnya. Beliau mengatakan bahwa hidup adalah ibadah sebab al-qur’an mengatakan demikian.

BAB III PENUTUP 

A. Kesimpulan 

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Keimanan yang ada pada kita harus senantiasa dipupuk dan dijaga dari segala hal yang dapat merusak kemurnian keimanan kita. Setidaknya ada dua hal yang harus kita waspadai sebagai perusak kemurnian keimanan kita yaitu syirik dan riddah, Walaupun perpindahan agama sebagai salah satu contoh perbuatan riddah adalah bagian dari hak asasi manusia tetapi dalam Islam hal itu termasuk ke dalam kejahatan besar yang hukuman maksimalnya adalah diperangi (dibunuh). Banyak ayat-ayat Al Qur’an dan hadits yang memberikan petunjuk kepada kita agar kita mewaspadai kedua perbuatan tersebut, jika salahsatunya kita lakukan maka hal itu akan membuat keimanan kita bathal dan terlepas. 

Setiap muslim pasti mengetahui seperti apa perbuatan yang dinamakan ibadah itu. Sebagian besar umat muslim mengetahui bahwa melakukan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, puasa sunnah senin kamis, sedekah, berdzikir dan masih banyak lagi yang lainnya, merupakan suatu perbuatan ibadah. Namun dalam mengerjakan ibadah itu bukan berarti hanya melakukan amaliyah atau tatacara dalam beribadah saja, tetapi hati dan akal pikiran juga harus ikut beribadah dalam artian hati dan pikiran kita ini hanya tertuju kepada Allah semata. 

B. Saran 

Setelah membaca dan memahami makalah ini diharapkan seluruh pembaca dapat mengaplikasikan ilmu yang di dapat dari makalah ini. Tentunya makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu saya selaku penyusun makalah ini memerlukan kritik dan saran yang membangun guna kebaikan makalah kami berikutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan perubahan hidup kita semua ke arah yang lebih baik yang di ridhai Alloh SWT.